Jumat, 09 Oktober 2015

Para Jugun Ianfu Terbuang Di Pulau Buru



 

Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer
_Catatan Pulau Buru_

Buku ini ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dari nama pengarangnya yang ditulis menggunakan gaya penulisan jaman dulu ini bisa dibayangkan ini buku seperti apa. Pikiran kalian mungkin membayangkan buku dengan latar jaman dulu.


Pramoedya sendiri semasa hidupnya adalah salah satu penulis yang aktif dan menghasilkan lebih dari 50 buah karya yang bahkan telah diterjemahkan dalam bahasa asing. Memang benar, buku ini membahas tentang nasib gadis-gadis muda yang dipaksa oleh militer Dai Nippon saat jaman penjajahan Jepang untuk menjadi Jugun Ianfu. Jugun ianfu adalah sebutan untuk para wanita yang menjadi budak seks tentara jepang.  Para Jugun Ianfu ini ditempatkan didekat pangkalan-pangakalan militer jepang, Sebagian ada yang di pulau Kalimantan, namun ada juga yang ditempatkan jauh didaerah terasing, Yakni Pulau Buru.
Buku ini sendiri semacam surat, bisa juga seperti cacatan. Pramoedya sendiri menulis ini saat dia menjalani masa pengasingan di Pulau Buru saat itu. Yang membuat saya tertarik dengan buku ini adalah karena mengingatkan saya dengan salah satu teman saya saat SMP & SMA yang memilki mata sipit seperti orang Jepang  hahaha,, (apa hubungannya), selain itu ada salah satu stasiun televisi swasta yang membahas tentang perjuangan para Jugun Ianfu ini untuk memperoleh keadilan. Hal itu yang membuat saya memutuskan membeli buku ini.
Pramoedya berangkat kepengasingan dipulau Buru pada 16 Agustus 1969, Pulau Buru saat itu penduduk aslinya masih menjalani kehidupan yang sangat kental nuansa adatnya. Penduduk aslinya  yaitu suku Alfuru yang masih primitif dan setengah Nomad hidup jauh dipedalaman hutan. Nah, dimasa pembuangannya inilah, Pramoedya bertemu para Jugun ianfu yang tidak diketahui nasibnya sejak Jepang menyerah pada tahun 1954 dan meninggalkan Jugun Ianfu ini begitu saja di Pulau Buru yang terasing. Para Jugun Ianfu Ianfu ini semuanya telah lanjut usia dan menjadi nenek-nenek namun gurat kecantikan mereka dimasa muda terlihat diantara kejadian traumatis yang menimpa mereka saat Tentara Jepang menipu mereka dengan mengatakan kepada orang tua mereka bahwa para perawan itu akan disekolahkan ke Singapura (di iming-imingi untuk menjadi bidan dan perawat). Tanpa mereka tahu yang sebenarnya, para Perawan Muda tersebut akhirnya dijemput dari rumah orang tua mereka dan mereka akhirnya malah dijadikan pemuas nafsu para tentara tersebut. Mereka dikurung dalam bilik-bilik sederhana, digilir siang dan malam. Kebanyakan dari Jugun Ianfu ini adalah putri-putri kaum bangsawan serta gadis-gadis bependidikan yang telah mengeyam pendidikan dibangku SD. Mereka juga memiliki kecantikan diatas rata-rata. Jepang memilih mereka, karena gadis-gadis dari kelurga miskin dan tidak berpendidikan tidak bisa dijamin kesehatannya.
Nah, Saat Jepang kalah dari Sekutu, Jugun Ianfu ini ditinggalkan begitu saja. Banyak dari mereka yang memilih untuk tidak kembali keorang tua mereka karena malu dan akhirnya memutuskan untuk menetap disuatu wilayah. Sayangnya, berbeda dengan nasib para Jugun Ianfu di Pulau Buru, Mereka malah ditangkap oleh lelaki dari suku pedalaman di daerah tersebut dan menjadikan mereka istrinya. Sialnya lagi kaum wanita di Suku-suku itu menganggap wanita adalah harta dan barang yang bisa diwariskan dan dijual serta dibeli oleh orang lain. Wanita-wanita malang itu akhirnya hidup terasing dipedalaman hutan Pulau Buru.
Satu persatu, Pramoedya mendatangi keluarga-keluarga yang terasing itu di Pedalaman hutan dengan meminta bantuan seorang mantri dan penduduk lokal yang telah maju (sebagian telah masuk islam). Dengan mengikuti seorang Mantri yang rutin datang ke dalam hutan untuk sekedar mengobati dan membagikan obat bagi penduduk suku pedalaman tersebut, mulai lah Petualangan Pramoedya menyisir kisah kelam Jugun Ianfu ini. Hanya saja beberapa pertemuan tak disengajanya yang terjadi sekitar tahun 1972 dan 1973 dengan perempuan perempuan malang ini tidak semuanya mendapat dukungan para suami mereka yang dari Suku Alfuru asli. Para Suami ini takut istri-istri meraka akan meninggalkan mereka kembali ke Jawa, selain itu pandangan mereka bahwa istri adalah harta bagi suami, sama dengan harta lainnya yang bisa dipertukarkan, dijual, diwariskan kepada adik atau anak membuat mereka memperketat pengawalan terhadap para wanita bekas Jugun Ianfu ini. Sekali, Pramoedya bertemu dan sempat berbicara dengan seorang Jugun ianfu yang telah lanjut usia. Jugun Ianfu ini menceritakan bagaimana dia digilir paksa oleh tentara Jepang dengan kejam dan biadab, selain itu dia Juga menceritakan tentang kerinduannya dengan kampung halaman, ayah ibu serta keluarganya. Keinginannya untuk pulang kembali ke Jawa, namun dia malu dengan kondisi dirinya. Juga dia tidak bisa pergi begitu saja karena dia telah di Sumpah Adat dan telah menjadi bagian dari suku Alfuru. Sungguh Tragis, mereka ditipu, diculik tentara Jepang untuk jadi pemuas nafsu lalu kembali mengalami hal yang sama namun ini dilakukan oleh lelaki-lelaki suku Pedalaman. ini sebuah Ironi yang menyakitkan.
Dari berbagai Kesempatan, Pramoedya juga akhirnya bertemu langsung dengan bibinya sendiri yang juga menjadi korban tentara Jepang, Ibu Siti F. Ibu Siti F dan ayah Pramoedya adalah anak dari Asisten Wedana Subang. Namun, saat pertemuan itu Ibu Siti F telah memulai kehidupan yang baru dengan  seorang lelaki Alfuru, hanya saja nasibnya cukup mujur karena suaminya cukup terpandang dari gaya yang senang memakai baju batik. Sama seperti mantan Jugun Ianfu lainnya, Ibu Siti F juga tidak mau menceritakan semua detil-detil saat dia dipaksa menjadi Jugun Ianfu, hanya beberapa. Dia masih sangat tertutup, Mungkin masih malu dan trauma. Dia Juga menolak untuk kembali ke Tanah Kelahirannya.
Beberapa Jugun Ianfu lainnya juga diceritakan oleh Pramoedya dalam cacatannya. Sebenarnya bukan hanya dipulau Buru saja, para Jugun Ianfu ini terlantar, ada yang ditinggalkan begitu saja di Kalimantan dan tempat-tempat lokalisasi khusus untuk mereka. Jugun Ianfu ini adalah korban nyata perang, mereka tidak ingin hidup menjadi Jugun Ianfu, namun jepangllah yang memaksa mereka. Selain para perawan dari Indonesia, Jugun Ianfu juga didatangkan dari China, Korea dan beberapa Negara lainnya. bahkan didalam buku ini aku sempat membaca seorang Jugun Ianfu dari korea telah dibawa masuk kepedalaman hutan oleh lelaki Suku Alfuru, aku membayangkan betapa girangnya lelaki-lelaki suku tersebut, saat mendapati ada beberapa wanita malang yang terlantar di pulau itu yang karena sebagian besar mereka berwajah cantik, berkulit mulus pastilah lelaki primitif ini tidak akan membiarkan kesempatan itu terbuang sia-sia dan lalu membawa mereka (entahlah secara paksa atau tidak) masuk kedalam hutan. 
Untungnya sekarang orang-orang dipulau Buru sudah modern. Mereka sudah terbuka dengan perubahan. Dan seperti yang kita tahu, cacatan Pramoedya ini ditulis 42 tahun yang lalu, dan mungkin para Jugun Ianfu ini beberapa telah meninggal dunia. Walaupun mulut mereka untuk berbicara telah tertutup untuk selamanya, namun kisah-kisah mereka tetap menjadi luka untuk bangsa ini. Mengingatkan kita akan kemalangan gadis-gadis seumuran kita yang menjalani hidup dengan rasa malu, penderitaan dan trauma yang mendalam.

Seperti Tulisan Di belakang sampul buku ini

“...kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang biasa menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu..... surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar