Jumat, 09 Oktober 2015

Chinese foot Binding atau Tradisi Pengikatan kaki Di China



Chinese foot Binding adalah salah satu tradisi di China yang telah lama ditinggalkan sejak gerakan menentang pengikatan kaki yang mulai marak pada akhir abad kesembilan belas.


Pengikatan kaki dimulai pada masa akhir dinasti Tang (618-907) dan mulai menyebar pada golongan kelas atas sampai pada zaman dinasti Song (960-1297), pada zaman dinasti Ming (1368-1644) dan dinasti Qing (1644-1911), budaya mengikat kaki menyebar luas dalam mayoritas masyarakat China sampai akhirnya dilarang pada Revolusi Sun Yat Sen tahun 1911. Kelompok yang menghindari adat ini hanyalah bangsa Manchu dan kelompok migran Hakka yang merupakan kelompok paling miskin dalam kasta sosial China. Kebiasaan mengikat kaki ini berlangsung selama sekitar seribu tahun dan telah menyebabkan sekitar satu milyar wanita China mengalami pengikatan kaki.


Ada Legenda mengatakan bahwa selir Yao Niang dulu diperintahkan untuk mengikat kakinya supaya kaki terlihat seperti bulan. Legenda kedua mengatakan bahwa mengikat kaki merupakan wujud simpati kepada Kaisar wanita. Versi lain mengatakan bahwa tradisi mengikat kaki berasal dari kaki para penari-penari namun sepertinya hal ini tidak masuk akal mengingat wanita dengan kaki terikat sangat sulit untuk berjalan apalagi menari. Dari manapun asal tradisi ini, efek yang ditimbulkan sangatlah nyata.
Entah kenapa wanita-wanita bangsawan termasuk Putri Yehonala di Novel The Last Empress tidak melakukakn pengikatan kaki ini padahal sama-sama berada diwilayah China. Mungkin hanya sebagian besar suku bangsa China saja yang melakukan pengikatan kaki terhadap wanita-wanitanya. Untuk Cerita Putri Yehonala sendiri akan aku buatkan artikel lainnya.
Berdasarkan data Di Novel Snow Flower dan the Secret Fan, Pengikatan Kaki sendiri biasanya dimulai ketika umur seorang anak gadis telah mencapai usia 6 Tahun. Diusia itu mereka beranggapan kaki terlalu mengandung banyak air, oleh karenanya lebih mudah dibentuk. Di saat anak-anak gadis yang akan di ikat (lebih tepatnya dibalut dengan ketat) masih bisa berlarian di tanah, masih bisa merasakan hawa dingin air yang menyetuh kaki mereka, di saat itulah para ibu sibuk membuat potongan kain biru yang nantinya akan digunakan untuk mengikat kaki-kaki anak gadis mereka. Selain itu, para Ibu juga sibuk mencurahkan segala perhatian untuk menjahit sepatu mini yang nantinya diletakkan di altar Guanyin – Dewi yang mendengarkan jerit tangis kaum perempuan sebagai persembahan dan doa agar pengikatan kaki ini nantinya sukses. Anak gadis mereka pun diikutsertakan dalam pembuatan sepatu-sepatu yang akan mereka gunakan selama 2 tahun saat proses pengikatan kaki mereka berlangsung.
Sebelum proses pengikatan kaki, hari-hari sebelumnya para ibu telah memberi makan anak gadis mereka kue kacang merah yang diharapkan akan membantu melunakkan tulang hingga selunak kue yang mereka makan. Menjelang hari pengikatan, para wanita akan berkumpul untuk mengucapkan selamat untuk para gadis yang akan menjalani proses pengikatan kaki, mereka bernyanyi , tertawa dan banyak berbicara. Tidak ada yang tahu bahwa satu dari sepuluh gadis meninggal dalam proses pengikatan kaki yang teramat menyakitkan itu. Para gadis ini diharapkan akan memiliki sepasang kaki yang memiliki 7 ciri utama : kaki harus kecil, sempit, lurus, runcing, melengkung,tetapi tetap lembut dan wangi. Selain itu kaki juga harus mecapai ukuran sempurna yaitu dengan panjang 7 sentimeter. Bentuk yang paling sempurna adalah berbentuk seperti kuncup bunga teratai, yang bulat ditumit dan penuh, runcing didepan dan nantinya berat badan sepenuhnya akan bertumpu pada ibu jari kaki. Ibu jari Kaki pada akhirnya harus dipatahkan dalam proses itu dan ditekuk kebawah hingga ketumit.



Semua orang beranggapan bahwa hanya wanita dengan kaki terikatlah yang pantas untuk dinikahi, padahal itu menurut saya hanya alabi belaka. Wanita dengan kaki terikat akhirnya dengan mudah menjadi sasaran kekerasan rumah tangga karena kitidakmampuan mereka dalam berjalan. Sehingga jika terjadi kekerasan tidak ada jalan lain selain diam menerima perlakuan kasar dari suaminya. Mereka tidak mampu untuk menyelamatkan diri mereka. Sedangkan wanita dengan kaki tidak di ikat akan menjadi menantu kecil atau di jual sebagai pelayan.
Ibu-ibu mulai menyiapkan tawas, astringent, gunting, pemotong kuku khusus, jarum, dan benang. Mereka lalu mengeluarkan perban dengan lebar lima centimeter dan panjang tiga sentimeter yang telah mereka persiapkan sebelumnya. lalu mereka merendam kaki anak gadis mereka dalam air panas berisi redaman akar murbei, buah badam yang digiling, air kencing (entah air kencing milik siapa?), rempah-rempah dan akar-akaran. Kaki mereka dicuci dan digosok dengan adas agar jaringannya mengkerut dan mengurangi keluarnya darah dan nanah (tentu saja, dalam prosesnya darah dan nanah adalah sesuatu hal yang tidak mungkin terhindarkan). Kuku gadis-gadis malang ini dipotong sependek-pendeknya. lalu perban direndam agar saat mengering perban itu semakin erat membalut kulit kaki. Setelah itu kaki mereka dibalut, balut balut, dengan erat hinga mereka tidak bisa menggerakkan jari-jari lagi karena jari-jari mereka sendiri telah ditekuk sedemikian rupa hingga bertemu tumit dan hanya tersisa ibu jari kaki saja. Lalu balutan itu dijahit ketat dengan benang dan jarum.
Nah, disaat-saat inilah mulai penderitaan mereka, Anak gadis itu akan mulai merasakan sakit akibat terrbangunnya tekanan pada tulang-tulang dan ikatan yang mulai menghambat aliran darah. setelah itu mereka di suruh berjalan, kadang mondar mandir diruangan, kadang mereka disuruh mengelilingi ruangan. Itu semua dilakukan agar jari kaki yang tertekuk itu patah dengan sendirinya. dari sekian rasa sakit yang tak terkira itu dihari keempat biasanya balutan akan dilepas dan diganti dengan yang baru setelah sebelumnya kaki mereka dibersihkan dan kuku kaki mereka kembali dipotong serta kaki mereka diberi wangi-wangian untuk menyamarkan bau daging dikaki yang mulai membusuk. lalu kaki mereka mulai diblaut lebih ketat. Makin lama, sepatu-sepatu yang mereka gunakan makin mengecil ukurannya.
Jika kedelapan kaki sudah mulai patah dan terlepas dari kaki akibat dari kaki mereka yang dipaksa berjalan tadi, maka si Ibu akan membuka balutan dan dengan tangannya menarik kembali tulang-tulang yang telah terlepas itu kearah telapak kaki, Dimana telah terbentuk ruangan baru yang gembur di bekas sendi jaji kaki tadi. Lalu kaki mereka dibalut-balut dengan lebih erat lagi. seperti yang telah saya jelaskan, darah dan nanah mengalir keluar dari balutan-balutan itu setiap kali balutannya diganti. Betapa mengerihkannya, bahaya meninggal karena Infeksi mengintai mereka kapan saja.
Dan akhirnya, lama-lama darah dan nanah menghilang, rasa sakit mereka berkurang. Akhirnya kaki mereka pun berbentuk seperti yang diinginkan. tapi tunggu, kadang bisa juga kegagalan terjadi dalam prosesnya, dan membuat kaki gadis malang itu membusuk dan meninggalkan bentuk serupa tunggul. Ini mengakibatkan mereka tidak bisa bejalan normal lagi sepanjang hidup mereka. walaupun kita tahu, pengikatan kaki itu sendiri kalaupun berhasil namun membuat gadis-gadis itu kesulitan berjalan normal.
Beruntung kita hidup dijaman yang telah maju, tidak ada lagi tradisi mengejar kecantikan yang membuat sakit seperti itu. Namun pengikatan kaki memang telah ditinggalkan, tapi semboyan “No Pain, No Beauty” tidak sepenuhnya hilang. Operasi plastik telah membawa hawa baru dalam bidang kecantikan, dan membuat standar kecantikan menjadi berbeda. Selain itu, banyak teknik-teknik untuk mempercantik wajah dan tubuh yang mau tidak mau pasti menimbulkan rasa sakit dalam prosesnya, seperti sulam bibir, sedot lemak, tanam benang. Yahhh, walaupun bius membuat itu semua tidak begitu sakit namun sesudahnya tetap saja rasa nyerinya tetap berasa. Para wanita berlomba mengejar standar kecantikan dengan menahan rasa sakit. Sah-sah saja jika mereka melakukan hal itu, semua tergantung pendapat masing-masing pribadi saja lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar