Chinese foot Binding
adalah salah satu tradisi di China yang telah lama ditinggalkan sejak gerakan
menentang pengikatan kaki yang mulai marak pada akhir abad kesembilan belas.
Pengikatan kaki dimulai pada masa akhir dinasti Tang
(618-907) dan mulai menyebar pada golongan kelas atas sampai pada zaman dinasti
Song (960-1297), pada zaman dinasti Ming (1368-1644) dan dinasti Qing
(1644-1911), budaya mengikat kaki menyebar luas dalam mayoritas masyarakat
China sampai akhirnya dilarang pada Revolusi Sun Yat Sen tahun 1911. Kelompok
yang menghindari adat ini hanyalah bangsa Manchu dan kelompok migran Hakka yang
merupakan kelompok paling miskin dalam kasta sosial China. Kebiasaan mengikat
kaki ini berlangsung selama sekitar seribu tahun dan telah menyebabkan sekitar
satu milyar wanita China mengalami pengikatan kaki.
Ada Legenda mengatakan bahwa selir Yao Niang dulu diperintahkan untuk
mengikat kakinya supaya kaki terlihat seperti bulan. Legenda kedua mengatakan bahwa mengikat kaki merupakan wujud simpati kepada Kaisar
wanita. Versi lain mengatakan bahwa tradisi mengikat kaki berasal dari
kaki para penari-penari namun sepertinya hal ini tidak masuk akal
mengingat wanita dengan kaki terikat sangat sulit untuk berjalan apalagi
menari. Dari manapun asal tradisi ini, efek yang ditimbulkan sangatlah
nyata.
Entah kenapa wanita-wanita bangsawan termasuk Putri Yehonala
di Novel The Last Empress tidak melakukakn pengikatan kaki ini padahal
sama-sama berada diwilayah China. Mungkin hanya sebagian besar suku bangsa
China saja yang melakukan pengikatan kaki terhadap wanita-wanitanya. Untuk
Cerita Putri Yehonala sendiri akan aku buatkan artikel lainnya.
Berdasarkan data Di Novel Snow Flower dan the Secret Fan, Pengikatan Kaki sendiri biasanya dimulai ketika umur seorang
anak gadis telah mencapai usia 6 Tahun. Diusia itu mereka beranggapan kaki
terlalu mengandung banyak air, oleh karenanya lebih mudah dibentuk. Di saat
anak-anak gadis yang akan di ikat (lebih tepatnya dibalut dengan ketat) masih
bisa berlarian di tanah, masih bisa merasakan hawa dingin air yang menyetuh
kaki mereka, di saat itulah para ibu sibuk membuat potongan kain biru yang
nantinya akan digunakan untuk mengikat kaki-kaki anak gadis mereka. Selain itu,
para Ibu juga sibuk mencurahkan segala perhatian untuk menjahit sepatu mini
yang nantinya diletakkan di altar Guanyin
– Dewi yang mendengarkan jerit tangis kaum perempuan sebagai persembahan dan
doa agar pengikatan kaki ini nantinya sukses. Anak gadis mereka pun
diikutsertakan dalam pembuatan sepatu-sepatu yang akan mereka gunakan selama 2
tahun saat proses pengikatan kaki mereka berlangsung.
Sebelum proses pengikatan kaki, hari-hari sebelumnya para
ibu telah memberi makan anak gadis mereka kue kacang merah yang diharapkan akan
membantu melunakkan tulang hingga selunak kue yang mereka makan. Menjelang hari
pengikatan, para wanita akan berkumpul untuk mengucapkan selamat untuk para
gadis yang akan menjalani proses pengikatan kaki, mereka bernyanyi , tertawa
dan banyak berbicara. Tidak ada yang tahu bahwa satu dari sepuluh gadis
meninggal dalam proses pengikatan kaki yang teramat menyakitkan itu. Para gadis
ini diharapkan akan memiliki sepasang kaki yang memiliki 7 ciri utama : kaki
harus kecil, sempit, lurus, runcing, melengkung,tetapi tetap lembut dan wangi.
Selain itu kaki juga harus mecapai ukuran sempurna yaitu dengan panjang 7
sentimeter. Bentuk yang paling sempurna adalah berbentuk seperti kuncup bunga
teratai, yang bulat ditumit dan penuh, runcing didepan dan nantinya berat badan
sepenuhnya akan bertumpu pada ibu jari kaki. Ibu jari Kaki pada akhirnya harus
dipatahkan dalam proses itu dan ditekuk kebawah hingga ketumit.
Semua orang beranggapan bahwa hanya wanita dengan kaki
terikatlah yang pantas untuk dinikahi, padahal itu menurut saya hanya alabi
belaka. Wanita dengan kaki terikat akhirnya dengan mudah menjadi sasaran
kekerasan rumah tangga karena kitidakmampuan mereka dalam berjalan. Sehingga
jika terjadi kekerasan tidak ada jalan lain selain diam menerima perlakuan
kasar dari suaminya. Mereka tidak mampu untuk menyelamatkan diri mereka.
Sedangkan wanita dengan kaki tidak di ikat akan menjadi menantu kecil atau di
jual sebagai pelayan.
Ibu-ibu mulai menyiapkan tawas, astringent, gunting, pemotong kuku khusus, jarum, dan benang.
Mereka lalu mengeluarkan perban dengan lebar lima centimeter dan panjang tiga
sentimeter yang telah mereka persiapkan sebelumnya. lalu mereka merendam kaki
anak gadis mereka dalam air panas berisi redaman akar murbei, buah badam yang
digiling, air kencing (entah air kencing milik siapa?), rempah-rempah dan
akar-akaran. Kaki mereka dicuci dan digosok dengan adas agar jaringannya
mengkerut dan mengurangi keluarnya darah dan nanah (tentu saja, dalam prosesnya
darah dan nanah adalah sesuatu hal yang tidak mungkin terhindarkan). Kuku
gadis-gadis malang ini dipotong sependek-pendeknya. lalu perban direndam agar
saat mengering perban itu semakin erat membalut kulit kaki. Setelah itu kaki
mereka dibalut, balut balut, dengan erat hinga mereka tidak bisa menggerakkan
jari-jari lagi karena jari-jari mereka sendiri telah ditekuk sedemikian rupa
hingga bertemu tumit dan hanya tersisa ibu jari kaki saja. Lalu balutan itu
dijahit ketat dengan benang dan jarum.
Nah, disaat-saat inilah mulai penderitaan mereka, Anak gadis
itu akan mulai merasakan sakit akibat terrbangunnya tekanan pada tulang-tulang
dan ikatan yang mulai menghambat aliran darah. setelah itu mereka di suruh
berjalan, kadang mondar mandir diruangan, kadang mereka disuruh mengelilingi
ruangan. Itu semua dilakukan agar jari kaki yang tertekuk itu patah dengan
sendirinya. dari sekian rasa sakit yang tak terkira itu dihari keempat biasanya
balutan akan dilepas dan diganti dengan yang baru setelah sebelumnya kaki
mereka dibersihkan dan kuku kaki mereka kembali dipotong serta kaki mereka
diberi wangi-wangian untuk menyamarkan bau daging dikaki yang mulai membusuk.
lalu kaki mereka mulai diblaut lebih ketat. Makin lama, sepatu-sepatu yang
mereka gunakan makin mengecil ukurannya.
Jika kedelapan kaki sudah mulai patah dan terlepas dari kaki
akibat dari kaki mereka yang dipaksa berjalan tadi, maka si Ibu akan membuka
balutan dan dengan tangannya menarik kembali tulang-tulang yang telah terlepas
itu kearah telapak kaki, Dimana telah terbentuk ruangan baru yang gembur di
bekas sendi jaji kaki tadi. Lalu kaki mereka dibalut-balut dengan lebih erat
lagi. seperti yang telah saya jelaskan, darah dan nanah mengalir keluar dari
balutan-balutan itu setiap kali balutannya diganti. Betapa mengerihkannya, bahaya
meninggal karena Infeksi mengintai mereka kapan saja.
Dan akhirnya, lama-lama darah dan nanah menghilang, rasa
sakit mereka berkurang. Akhirnya kaki mereka pun berbentuk seperti yang
diinginkan. tapi tunggu, kadang bisa juga kegagalan terjadi dalam prosesnya,
dan membuat kaki gadis malang itu membusuk dan meninggalkan bentuk serupa
tunggul. Ini mengakibatkan mereka tidak bisa bejalan normal lagi sepanjang
hidup mereka. walaupun kita tahu, pengikatan kaki itu sendiri kalaupun berhasil
namun membuat gadis-gadis itu kesulitan berjalan normal.
Beruntung kita hidup dijaman yang telah maju, tidak ada lagi
tradisi mengejar kecantikan yang membuat sakit seperti itu. Namun pengikatan
kaki memang telah ditinggalkan, tapi semboyan “No Pain, No Beauty” tidak sepenuhnya
hilang. Operasi plastik telah membawa hawa baru dalam bidang kecantikan, dan
membuat standar kecantikan menjadi berbeda. Selain itu, banyak teknik-teknik
untuk mempercantik wajah dan tubuh yang mau tidak mau pasti menimbulkan rasa
sakit dalam prosesnya, seperti sulam bibir, sedot lemak, tanam benang. Yahhh,
walaupun bius membuat itu semua tidak begitu sakit namun sesudahnya tetap saja
rasa nyerinya tetap berasa. Para wanita berlomba mengejar standar kecantikan dengan
menahan rasa sakit. Sah-sah saja jika mereka melakukan hal itu, semua
tergantung pendapat masing-masing pribadi saja lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar